Ia Suka “Rela” mu
Oleh : Diyah Suci
“Kak, semester ini aku pengen ikut Palang Merah Indonesia di kampus, boleh ya...?” ucap seorang mahasiswi baru kepada pemuda yang duduk santai di atas sepeda motornya dengan gaya sedikit congkak.
   “Buat apa Dek ikut begituan? Kan banyak UKM lain yang lebih bagus dari pada yang bidangnya kesehatan.” “Kamu bisa join ke UKM Olahraga aja kayak Kakak, toh waktu lomba antar fakultas kemarin, kamu juara satu cabang bulu tangkis kan...?” jawab si pemuda dengan nada halus.
   “Ngga’, dengan atau tanpa ijin Kakak, aku bakalan gabung ke UKM Palang Merah Indonesia cabang kampus kita ini.” Lanjut sang mahasiswi baru.
   “Kamu dibilangin susah banget sih, Kakak bilang jangan ya jangan...” “Di sini kamu tanggung jawab Kakak, jadi harus nurut sama Kakak” tukas si pemuda dengan nada keras.
          “Ngga’, pokoknya aku bakalan tetep join ke PMI kampus ini...” teriak mahasiswi itu sambil berlalu meninggalkan pemuda.
          Aku yang sejak awal mendengar percakapan mereka berdua, mencoba mengajak bicara pemuda tersebut. “Napa kamu nglarang Eci buat join ke PMI kampus Gas...? iya sih dia adik kandungmu, tapi ga’ boleh asal nglarang gitu lah, aku lihat Eci semangat banget pengen join tuh UKM.”
 “Ya tau sendiri lah Fiq, gimana aku kehilangan Kiky. Aku ga’ pengen kehilangan  adikku juga.” Jawab Bagas pelan.
Cowok agak sombong itu memang sudah lima semester menjadi teman sekelasku sejak pertama kami masuk kampus ini. Jadi, agaknya aku  paham bagaimana sifat dan wataknya. Pun mengenai ketidak bolehannya saat si adik meminta ijin untuk mengikuti UKM PMI di kampus kami.
Seminggu lalu, tepat seratus hari kepergian Kiky, gadis yang semenjak semester dua menjadi kekasih Bagas. Bagas sangat menyayangi Kiky, begitu pula sebaliknya, Kiky pun sangat menyayangi Bagas. Hingga tragedi itu memisahkan mereka.
Kiky yang berjiwa sosial tinggi adalah aktivis di UKM PMI kampus kami. Hari itu ia berangkat demi misi sosial menolong korban bencana gunung meletus di provinsi lain bersama kawan-kawan aktivisnya. Bagas pun mendukung niat Kiky untuk pergi.
Na’asnya setelah tiga hari keberangkatan Kiky dan rombongan UKM PMI dari kampus, pihak rektorat mendapat kabar bahwa lima dari sepuluh mahasiswanya dalam bhakti sosial bencana, justru menjadi korban letusan gunung berapi saat menyelamatkan warga setempat. Empat luka parah, serta satu meninggal dunia. Dan satu orang meninggal itu adalah Kiky. Bagas terkejut bukan kepalang, tiga hari paska berita itu mencuat, ia tak mengeluarkan sepatah katapun, seolah tak percaya atas kepergian Kiky, gadis yang dicintainya.
Semenjak itu, Bagas menaruh benci yang sangat terhadap PMI dan segala hal yang berkaitan dengannya. Inilah yang ku pahami kenapa ia melarang Eci, adik kandungnya itu untuk mengikuti PMI di kampus kami.
***
Seminggu berlalu, aku melihat Eci berpakaian rapi, dari penampilannya aku paham dia akan mengikuti workshop anggota baru PMI kampus kami. “Mau workshop PMI ya Dek...?” sapaku pada Eci yang sudah paham bahwa aku ini sahabat Kakaknya.
“Iya Mbak, .” jawab Eci sambil tersenyum ketir.
“Kok senyumnya ketir tho? Yang ikhlas dong..” ucapku menggoda Eci.
“Gimana ngga’ ketir mbak, Kak Bagas kekeuh ngga’ ngijinin aku ikut UKM ini.” Tutur Eci dengan polosnya. Akhirnya akupun bercerita tentang alasan kisah Kiky, yang membuat Bagas melarang adiknya itu ikut UKM PMI.
Eci menitikan airmata mendengar ceritaku, ia berniat mengurungkan inginnya mengikuti workshop demi sang Kakak. Ia berniat menemui Bagas dan meminta maaf atas sikapnya yang tak menuruti nasehat sang kakak karena tak tahu alasan sebenarnya.
Tak lama berselang, suara keras terdengar, . “mbrouuuuuuuuummmm” seorang laki-laki terpelanting jatuh saat melaju dengan sepeda motornya.
Eci dan aku berlari ke sumber suara, dengan sigap Eci memberikan pertolongan pertama pada korban kecelakaan tunggal itu. Aku pun kagum melihat Eci memberikan P3K. Pantas ia ingin sekali join di UKM PMI.
Yang lebih mengagetkan adalah si korban kecelakaan. Laki-laki yang terpelanting dari sepeda motor itu tak lain adalah Bagas. Eci pun menangis tersedu, menyadari bahwa sosok yang sedang tak berdaya itu adalah kakaknya.
Eci dan aku segera merujuk Bagas ke rumah sakit kampus kami. Dokter pun segera menangani Bagas.
Satu jam berlalu, dokter pun keluar sambil tersenyum dan berkata “saudari Eci dan saudari Nila silakan masuk, saudara Bagas ingin berbicara kepada Anda berdua.”
Kami pun segera masuk setelah berterimakasih pada Dokter.
Aku terkejut mendengar kalimat yang diucapkan Bagas pada Eci, “Dek, kamu cepetan ikut workshop PMI sana, Kakak ngijinin kok”
“Fiq, plis anterin Eci ke tempat workshop sebelum telat, .”
Dan kami bertiga pun tersenyum, akhirnya hati Bagas luluh melihat keseriusan Eci untuk mengikuti PMI, serta kemampuannya dalam P3K.

Comments

Popular Posts